Loverman ( KARYA : Arif Kamil ) Chapter I

Bookmark and Share
" Ayah ingin suatu hari nanti kamu jadi pemain yang hebat, ditakuti lawan dan menduduki rangking tertinggi dunia. Kamu bisa berkaca dari prestasi Taufik Hidayat dan Simon Santoso yang kerap kali mengharumkan nama Indonesia di berbagai turnamen dan kejuaraan, " begitu komentar Ayah saat kami menyaksikan ulasan seorang komentator olahraga menjelang pertandingan Indonesia terbuka dimulai.

Aku hanya bisa menganggukkan kepala sebagai isyarat setuju dengan harapan besar yang ia semat kan di pundak ku. Paling tidak dengan gerakan tubuh itu ayah merasa yakin kalau keinginannya itu suatu saat akan ku penuhi. Aku terpaksa berbohong pada ayah, karena sebenarnya tidak ada niat sedikit pun untuk menggeluti olahraga bulutangkis apalagi menjadi juara dunia seperti yang ia impikan. Andai saja malam itu kami menyaksikan pertanding Cris Jhon di atas di atas ring dan ayah menginginkan aku kelak seperti the dragon, pasti langsung aku iyakan karena aku memang terobsesi sekali menjadi petinju hebat.

Aku paham betul dengan ketakutan ayah, keluh kesahnya sangat beralasan. Lima tahun yang lalu abang mu tewas di atas ring saat perebutan gelar juara nasional. Itulah alasan ayah mengapa begitu keras menentang keinginanku mengadu nasib di dunia tinju. Tapi aku yang dasarnya keras kepala tetap saja menggeluti olahraga yang satu itu hingga akhirnya berhasil mewakili Indonesia di kejuaraan tinju dunia di Jepang. Namun sebenarnya ada satu hal yang tetap saja mengganjal keberangkatan ku ke negeri Sakura, naluri dan perasaan seperti saling berbenturan yang akhirnya membuatku sulit untuk menentukan pilihan.

Genap satu minggu sebelum keberangkatan, ayah belum juga ku beritahu. Ada ketakutan tersendiri yang terasa kalau ayah sampai tahu rencana itu. Aku tak ingin laki-laki tua itu kembali kecewa dengan keputusan yang ingin aku pilih. Tapi untunglah Tuhan menitipkan seorang teman yang begitu mengerti keinginanku. Dialah Tari, perempuan keturunan Cina yang telah dua tahun dekat denganku. Hubungan kami hanya sebatas sahabat yang selalu mengisi satu sama lain. Di tengah dilema hebat yang ku alami, Tari hadir sebagai penyejuk jiwa. Dukungan serta semangat yang tak pernah ku dapati dari ayah, ia curahkan tanpa pamrih.

Tari tidak pernah absen saat aku latihan, perhatiannya benar-benar tercurah yang jarang sekali kutemukan pada orang lain, meski itu pada keluarga sendiri. " Ini aku bawakan jeruk, " sambutnya ketika sesi latihan selesai. Aku memilih jeruk karena terlihat begitu segar, tanpa diminta jemari lentik nya begitu fasih mengupas buah yang aku minta. Tari, perhatian dan kebaikannya mampu mengobati rasa haus atas perhatian yang sekian lama aku harapkan dari sosok seorang ayah.

" Seminggu lagi kamu akan berangkat ke Tokyo, apa yang sudah di kasih tahu ? Aku menggelengkan kepala. " Sebaiknya ayah tidak perlu tahu, " jawabku sambil memandang nanar ring tinju. " Sudah coba bicara ?" " Belum, tapi aku yakin ayah tidak akan setuju. Aku juga tidak ingin dia mengingat kembali kejadian pahit yang pernah terjadi."

"Doa orang tua sangatlah penting saat kita memulai sebuah usaha. Bukannya aku menggurui, tapi lebih baik dia tahu. Hal terburuk yang ada dalam pikiran kita belum tentu semua benar dan akan terjadi, tidak adanya berdamai dengan rasa takut. " saran Tari sambil mengusap peluh ku.

Ketakutan hebat yang bersarang tepat di hulu hati terasa sulit untukku lawan. Wajah ayah dengan ekspresi kecewa terpampang jelas di memori otak ku. Tapi seperti tekad ku sudah bulat, ayah tidak akan pernah tahu dengan rencana besar itu. Mungkin setelah gelar juara berhasil ku rebut, barulah rahasia itu akan ku ungkapkan padanya. 

" Ya sudah, aku tahu kok kamu pasti bijak dalam mengambil keputusan, " akhirnya Tari menyerahkan segala keputusan keputusan padaku. 

Sejujurnya aku begitu menyanyangi gadis Tari, aku cinta padanya. Bukan karena kecantikan, kekayaan atau pun kelebihan lain. Perasaan itu muncul atas dasar perhatian dan ketulusan yang ia berikan. Aku tidak tahu apa perasaan ini sama seperti apa yang ia rasa, namun yang jelas aku menikmati hubungan itu, walau sering orang mengira kami ada hubungan khusus. Teman tapi mesra, mungkin ungkapan itu pas dengan situasi yang kami jalani. Meskipun tanpa hubungan tapi aku dan Tari sudah seperti sepasang kekasih yang saling mengisi.

Sebenarnya ada niat untuk mengungkapkan perasaan yang terasa, namun sayang mentalku belum begitu siap untuk di tolak. Andai saja hal buruk itu terjadi tentu hubungan baik yang sekian lama terbina akan kandas begitu saja. Ke mana lagi hendak kucari kehangatan yang sekian lama ku damba Aku tak ingin itu hilang.

                 ============= Bersambung  ( Klik Di Sini ) =============

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar

Jangan Lupa Coment dan Kritikannya Demi Kemajuan Blog Ini, "Kami Mohon Jangan SPAM ya" Happy Blogging